Sesungguhnya Alquran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat banyak sekali menyebutkan tentang sifat-sifat Allah. Maka dari itu selayaknya kita sebagai seorang muslim mengeti dan memahami sifat-sifat tersebut sesuai dengan kebesaran Allah tanpa mengingkari dan tidak pula menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk. Serta kita mampu mengambil pelajaran imaniyah dan amaliyah dari makna sifat-sifat Allah tersebut. Dengan demikian kita akan mampu meningkat kualitas ibadah kita meraih nilai peringkat ihsan, yaitu beribadah seolah-olah kita menlihat Allah.
Tentu hal tersebut bisa kita raih apabila kita memahami sifat-sifat Allah tersebut sesuai dengan dengan pemahaman para sahabat dan ulama-ulama terkemuka yang mengikuti jejak mereka dari kalangan umat ini. Yaitu pemahaman para ulama Ahlussunnah Waljama’ah. Agar kita selamat dari dua bahaya dalam memahami sifat-sifat Allah tersebut; yaitu bahaya ta’thiil (pengingkaran) dan bahaya tasybiih (penyerupaan).
Dari sini betapa pentignnya bagi kita untuk mengetahui kaidah-kaidah yang disebutkan oleh para ulama dalam memahami sifat-sifat Allah tersebut. Dalam bahasan kali ini kami mencoba menyebukan kaidah-kaidah tersebut sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama Ahlussunnah dalam kitab-kitab mereka[1]:
Kaidah pertama: Sifat-sifat Allah adalah tauqifiyah (harus ada dalil yang menyatakannya).
Dalam menetukan sifat-sifat Allah kita mesti berpegang kepada Alquran dan hadit-hadits yang shahih. Kita dilarang menetukan sebuah sifat, apabila sifat tersebut tidak terdapat dalam Alquran dan hadits yang shahih. Baik dalam penyebutan terhadap sebuah sifat maupun dalam penetapannya, kita dilarang merubah lafaz-lafaz nama dari sifat-sifat Allah tersebut. Demikian pula kita dilarang menentukan sebuah sifat yang tidak ada dalilnya dalam nash-nash yang valid.
Barangsiapa yang menetapkan sebuah sifat tanpa ada dalil dari Alquran dan Sunnah. Atau merubah penyebutan terhadap sebuah sifat tertentu, seperti menyebut sifat Al ‘Uluw dengan istilah al jihah (arah) dan al makaan (tempat). Maka orang tersebut telah melakukan sebuah pencemaran terhadap kemulian Allah dan berbicara tanpa ilmu tentang Allah. Tindakan ini jelas diharamkan dalam agama Islam sebagaimana Allah tegas dalam firmannya,
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ [الأعراف/33]
Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.”
Dalam ayat yang lain Allah sebutkan,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا [الإسراء/36]
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
Bahkan berbicara tentang sesuatu terhadap Allah yang tidak didasarkan kepada ilmu adalah mengikuti perintah setan. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah,
وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (168) إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ [البقرة/168، 169]
“Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui.”
Karena yang lebih tau tetang Allah adalah Allah itu sendiri kemudian Rasul-Nya r. Oleh sebab itu kita dilarang untuk menetap suatu sifat bagi Allah atau memberi nama terhadap sebuah sifat Allah yang tidak diterangkan oleh Allah dan Rasul-Nya r. Sebab Allah telah menentukkan lafatz yang pantas dalam menyebut sifat-sifat tersebut. Jika lafatz-lafatz tersebut diganti atau dirubah akan menimbulkan kerancuan dalam maknanya. Yang pada akhirnya bermuara kepada pengingkaran sifat itu sendiri. Hal ini sering dilakukan oleh orang-orang Mu’aththilah (sekte yang mengingkari sifat-sifat Allah).
Kaidah kedua: Semua sifat Allah adalah sifat yang sempurna.
Semua sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Alquran dan hadits-hadits shahih adalah sifat yang sempurna. Tidak ada cacat dan kekurangan sedikitpun dalam segi kesempurnaannya, Allah Maha suci dari segala sifat-sifat yang kurang. Disamping itu sifat-sifat tersebut menunjukkan tentang keMahasempurnaan Allah itu sendiri, karena semua sifat-sifat yang sempurna hanyalah milik Allah semata. Sebagaimana Allah berfirman,
وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَى وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ [النحل/60]
“Dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Berkata Ibnu Katsiir,
{ وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الأعْلَى } أي: الكمال المطلق من كل وجه، وهو منسوب إليه”
Maksud dari perkataan Allah: “ Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi” artinya kesempurnaan yang mutlak dari segala segi, yang dinisbahkan kepada-Nya[2]. ”
Dalam ayat lain Allah sebutkan,
وَلَهُ الْمَثَلُ الْأَعْلَى [الروم/27]
“Dan bagi-Nyalah sifat yang Maha Tinggi.”
Bila kesempurnaan yang mulak dalam sifat hanya milik Allah semata, maka tentu tidak seorang dari makhluk yang serupa dengan Allah. Meskipun sebagian makhluk memiliki sifat yang sama penyebutannya dengan sifat Allah, akan tetapi sifat makhluk tersebut tidak sempurna.
Adapun makhluk adakalanya memiliki sifat yang baik tetapi tidak sempurna, selalu ada kekuranga dari berbagai segi. Dan adakalanya tidak memiliki sifat-sifat yang baik sama sekali seperti berhala dan patung-patung yang dijadikan sebagai sesembahan, maka ia adalah makhluk yang amat kurang dan hina. Oleh sebab itu ini adalah sebagai bukti yang nyata bahwa hanya Allah semata yang berhak kita sembah. Adapun selainnya adalah makhluk yang lemah dan memiliki berbagai bentuk kekurangan. Sebagaimana ungkapan nabi Ibrohim kepada bapanya,
يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا [مريم/42]
“Wahai bapakku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?”
Maka oleh sebab itu orang yang mengingkari sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Alquran maupun dalam sunnah, tanpa ia sadari ia telah mensifatkan Allah dengan lawan dari sifat yang ia nafikan (ingkari).
Apabila suatu sifat memiliki dua sisi; bila dilihat dari satu sisi ia adalah sifat terpuji dan apabila dari sisi yang lain ia adalah sifat yang tercela. Seperti sifat tipu daya (makar) dan berolok-olok (istihzaa’). Maka sifat-sifat semacam ini tidak boleh dinisbahkan kepada Allah kecuali pada saat kondisi sifat tersebut terpuji yaitu ketika mebalas perbuatan sejenis (muqobalah).
Sebagaimana dalam firman Allah berikut,
وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ [الأنفال/30]
“Mereka melakukan tipu daya dan Allah-pun (membalas) melakukan tipu daya. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.”
Demikian juga firman Allah,
قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ (14) اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ [البقرة/14، 15]
“Mereka berkata: “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok. Allah-pun (membalas) memperolok-olokan mereka.”
Ini menunjukkan kesempurnaan sifat Allah, bahwa Allah mamapu membalas perbuatan orang-orang kafir sesuai dengan perbuatan mereka sendiri. Agar terbukti oleh mereka bahwa Allah Mahasempurna dalam segala sifat-Nya.
Oleh sebab itu, sifat-sifat yang seperti ini tidak Allah nisbahkan kepada-Nya kecuali hanya setelah meneybutkan sikap orang-orang kafir sebagai balasan atas perbuatan mereka.
Maka dalam mengungkapkan sifat-sifat Allah seperti ini harus ada kehati-hatian. Kita tidak boleh mengtakan: Allah memiliki sifat tipu daya atau melakukan tipu daya terhadap makhluk. Akan tetapi boleh dikatakan: Allah melakukakan tipu daya terhadap orang yang melakukan tipu daya terhadap-Nya, atau terhadap rasul-rasul-Nya dan orang-orang beriman. Demikian pula tidak boleh dikatakan: Allah berolok-olok dengan makhluk. Akan tetapi boleh dikatan: Allah memperolok-olokkan orang yang memperolok-olokkan ayat-ayat-Nya, atau rasul-rasulnya dan orang-orang beriman.
=Bersambung insya Allah=
Penulis: Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, M.A.
Artikel www.dzikra.com
[1] Pembahasan ini bisa dilihat dalam kitab: Attadmuriyah dan Fatawa al Hamawiyah syeikh Islam Ibnu Taimiyah, Manhaj wa dirosat li ayat asmma’ was sifat syeikh Muhammad Amin Syangqithy, Mu’taqad Ahlussunnah wal jama’ah fi tauhid Asmaa’ was sifat Prof. Dr. Muhammad bin khalifat Attamimy.
[2] Tafsir Ibnu Katsiir: 4/578.